Opini


Mahasiswa Apatis, Lantas Siapa yang Salah?
Penulis : Noor Lutfiyah Afifah

Mahasiswa merupakan sebuah kata sarat makna yang menimbulkan banyak pandangan. Mahasiswa terbentuk dari dua kata yaitu dari kata Maha dan Siswa, ketika diartikan Maha sama artinya dengan “Yang” dan siswa sama artinya dengan “pelajar”, jadi Mahasiswa sama saja jika dikatakan sebagai “yang terpelajar”.
Kampus dan Mahasiswa merupakan dua kata yang tidak bisa dipisahkan. Kampus merupakan kawah atau wadah untuk mahasiswa mengeksplore berbagai Ilmu dan pengetahuan. Akan tetapi, pernyataan tersebut tidak sesuai bagi mahasiswa yang apatis. Kampus merupakan tempat hura-hura bagi mereka yang tertarik dengan hingar bingar dunia kampus. Perpustakaan, taman, kantin, itulah kata-kata yang paling tepat yang bisa menggambarkan betapa bernilainya kampus.
Mahasiswa mungkin dipercaya sebagai agen perubahan dari sebuah zaman. Berbagai sudut yang telah banyak diwarnai oleh aktivis-aktivis kampus dengan gerakanya. Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang merupakan salah satu kampus yang memiliki tokoh mahasiswa yang turut mengubah wajah negeri ini melalui gerakanya. Akan tetapi, tidak semua mahasiswa memiliki motivasi yang sama sewaktu mereka menginjakkan kaki di kampus. Tentunya kita tidak bisa menyalahkan mereka yang memilih untuk berkonsentrasi kuliah dan meninggalkan organisasi di kampus sebagai bentuk konsekuensinya. Gaya hidup (Style Of Life) merupakan salah satu sebab yang menjadikan mahasiswa bersikap apatis. Karena peilaku apatis juga selalu berhubungan dengan proses gaya hidup dan adaptasi seseorang. Menurut Alfred Adler via Alwisol, gaya hidup sendiri adalah cara unik dari setiap orang dalam berjuang mencapai tujuan khusus yang telah ditntukan orang itu dalam kehidupan tertentu dimana dia berada. Jika seseorang tidak mampu beradaptasi dengan lingkunganya, maka orang tersebut merasa tidak nyaman dengan apa yang ada di sekitarnya. Hal itu menyebabkan seseorang enggan untuk terlibat dan melibatkan diri dalam kegiatan yang sedang berlangsung disekitarnya. Jika orang tersebut tidak ingin dianggap sebagai individu yang apatis, maka orang tersebut harus mengubah gaya hidupnya sesuai dengan lingkunganya. Dalam buku psikologi kepribadian menurut Alfred Adler, gaya hidup ini mungkin bisa berubah tetapi dasar gayanya tetap sama, kecuali orang tersebut menyadari kesalahanya dan secara sengaja mengubah arah yang ditujunya.
Kebanyakan mahasiswa menganggap bahwa kegiatan yanga ada di kampus, utamanya dalam hal organisasi dipercaya dapat menurunkan prstasi akademik mahasiswa. Pernyataan tersebut ada benarnya, namun tentunya tidak berlaku secara umum bagi seluruh mahasiswa. Kuncinya disini adalah memanage waktu. Apakah dalam hal ini mahasiswa dapat mengatur yang porposional antara kuliah dengan organisasi. Apalagi dengan mahasiswa Saintek yang kegiatan sehari-harinya di geluti dengan tugas. Maka hal ini seharusnya menjadi tugas yang sangat penting bagi mahasiswa Saintek agar tidak melulu di judge sebagai mahasiswa yang apatis.
Mahasiswa apatis cenderung melihat temanya yang terlibat dalam suatu organisasi memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang lebih rendah dari rata-rata. Karena dalam hal ini mahasiswa apatis tentunya tidak ingin senasib dengan mahasiswa aktivis kampus tersebut. Terlebih lagi jika melihat komposisi mahasiswa Saintek yang kebanyakan dari luar Jawa. Mereka tentu memiliki tanggung jawab yang lebih besar agar nilai akademik mereka selalu bagus.
Ketika dilihat dari segi sosial-kultural, tentunya dapat dilihat bahwa ada pergeseran yang telah terjadi dikalangan mahasiswa. Era globalisasi dan keterbukaan menjadi pemicu utama dari apatisme mahasiswa. Era saat ini bukan lagi era dimana buku-buku, dengan perpustakaan sebagai tempat diskusi. Mahasiswa saat ini berada pada zaman milenial generasi internet yang menjadikan tempat hits (kedai kopi) sebagai tempat untuk menghabiskan waktu. disisi lain, sungguh sangat disayangkan bahwa tak jarang gerakan mahasiswa tak mngundang simpati melainkan antisipasi dari masyarakat lantaran gerakan merekan tidaklah independen lagi. Karena beberapa aksi yang digelar cendrung berbau politik yang ditunggangi oleh pihak yang mempunyai kepentingan. Banyak yang ikut demonstrasi tak menguasasi wacana yang menimbulkan kesan ikut-ikutan.
Ketika banyak solusi untuk mengurangi keapatisan mahasiswa tentunya tidak mudah. Karena dampaknya tidaklah instan di era yang kebanyakan manusianya menginginkan hal yang serba instan. Perlu waktu untuk mlihat hasilnya. Karena Indonesia tidak memerlkan poitisi-politisi yang hanya memikirkan kepentingan pibadi semata.
Penulis yakin, bahwa mahasiswa Saintek adalah mahasiswa yang memiliki tingkat intelejensi di atas rata-rata. Maka tak heran manakala mahasiswa sekarang lebih memilih apatis ketimbang jadi organisatoris sebab mereka memandang organisasi tak lagi menjadi alat kebanggan. Bahkan organisasi tak memeberikan jaminan kehidupan yang layak di hari tua. 







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Revisi Makalah